Korupsi dan fenomena negara gagal

Rabu, 21 Juli 2010

Atip Latifulhayat

Korupsi dengan berbagai definisi dan manifestasinya telah menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan sejarah negeri yang bernama Indonesia. Rakyat Indonesia sudah pasti sangat lelah mendengar dan membicarakannya. Bahkan mungkin melafalkannya pun sudah sangat “sebal” dan “muak”.  Tiada hari tanpa berita korupsi. Tiada instansi (pemerintah) yang bebas korupsi.

Budaya korupsi penetrasinya sudah menyentuh nyaris semua segmen masyarakat. Yang mencengangkan, kaum intelektual bahkan ulama yang diidealisasikan sebagai makhluk anti wabah korupsi, ternyata ambrol juga pertahanannya. Keadaan ini tanpa kita sadari telah menyebabkan Indonesia hampir sempurna menjadi negara yang gagal (failed state).

Istilah “negara gagal” dipopulerkan antara lain oleh Helman dan Ratner dalam artikelnya “Saving Failed States” (Foreign Policy:1992). Failed States merujuk kepada negara-negara yang pemerintahnya tidak memiliki kemampuan memadai untuk menyediakan fasilitas publik, infrastruktur ekonomi, keamanan, dan gagal dalam mengamankan integritas teritorialnya. Suatu negara dikualifikasikan sebagai “gagal” dikarenakan ketidakmampuannya menyediakan apa yang oleh Rotberg disebut sebagai “positive political goods” bagi warganegaranya yang mencakup keamanan, pendidikan, pelayanan kesehatan, peluang ekonomi, pemeliharaan lingkungan, sistem peradilan yang baik, dan penyediaan infrastuktur ekonomi yang fundamental (Robert I.Rotberg, The New Nature of Nation-State Failure: 2002).

Selain itu, negera gagal pun selalu ditandai dengan perlindungan HAM yang rendah, nilai mata uang yang rendah bahkan kalah pamor dengan mata uang asing. Harapan hidup penduduknya pendek, kemiskinan  meluas, kriminalitas tinggi, tidak mampu mengatur dan menjaga batas-batas wilayah teritorial negaranya, dan praktek korupsi yang meluas (Stephen D.Krasner:2004).

Beberapa negara di Afrika, Asia dan Amerika Latin masuk ke dalam kategori ini. Untuk menyebut beberapa contoh; Ruanda, Kongo, Sierra Leone, Zimbabwe, Burundi, Columbia, Pakistan, dan Afghanistan (Robert Cooper, The Breaking of Nations: Order and Chaos in The 21st Century: 2004). Sementara itu, negara yang mampu melaksanakan kedaulatannya baik ke dalam maupun keluar dalam arti mampu menyejahterakan rakyatnya dan menjaga wibawa politik dan integritas teritorialnya dalam pergaulan internasional, itulah negara yang sukses/successful states (Rosa Brooks, Failed States, or the State as Failure: 2004).

Tanpa harus membantu untuk menyimpulkan, Indonesia telah memastikan dirinya masuk dalam parade negara-negara gagal. Bahkan Indonesia tampaknya juga termasuk kategori “negara semu” (quasi-state), karena ketergantungannya yang cukup tinggi terhadap bantuan luar negeri (baca: pinjaman) dan ketidakberdayaannya menghadapi “intervensi” institusi-institusi keuangan internasional seperti Bank Dunia dan IMF (International Monetary Fund).

Pertanyaannya adalah apa penyebab utama Indonesia menjadi negara yang gagal? Jawabannya adalah: k o r u p s i. Ini bukan penyederhanaan masalah, tapi karena memang masalah utamanya itu dan di situ. Korupsi memang bukan satu-satunya faktor yang menjerumuskan suatu negara ke dalam kategori “failed state”. Namun, korupsi merupakan gerbang utama (main gate) bagi kehancuran suatu negara. Korupsi sebenarnya bukan persoalan yang berkaitan dengan uang. Kerugian (negara) berupa uang adalah akibat dari suatu perbuatan (infi’al, kata orang pesantren). Korupsi hakekatnya adalah penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang, selingkuh kekuasaan (abuse of power) dan penyalahgunaan kepercayaan dari rakyat (abuse of trust). Kasus korupsi yang sedang hangat seperti Bank Century dan perampokan uang pajak oleh Gayus Tambunan adalah contoh yang teramat terang telah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang.

Praktek penyalahgunaan kekuasaan yang telah berlangsung lama dan meluas hampir di semua instansi pemerintah menyebabkan Indonesia gagal untuk mengantarkan rakyatnya meraih kemakmuran, mencicipi keadilan, dan menikmati ketentraman. Yang lebih mengerikan, korupsi bukan saja telah merugikan rakyat dan menguras aset negara tapi juga telah menjadi sumber penyakit moral yang endemik. Budaya suap yang sebetulnya merupakan budaya rendah berubah menjadi “hukum kebiasaan birokrasi dan pebisnis”. Suap atau “bribery” (Inggris) berasal dari bahasa latin “briba” (sepotong roti yang diberikan kepada pengemis). Sekarang “sepotong roti itu” menjadi rukun kelancaran bagi urusan bisnis dan birokrasi. Dalam ajaran Islam, mengemis adalah perbuatan yang harus dihindari (tidak terpuji). Korupsi lewat suap tidak lain adalah pengemis yang bersandar pada tongkat yang tertanam di atas penyalahgunaan kekuasaan. Bayangkan seberapa besar dosanya.

Budaya suap mengakibatkan rakyat kehilangan gairah untuk berkompetisi secara sehat. Kreativitas dan inovasi tidak lagi menjadi jembatan untuk meraih prestasi dan harga diri. Mencari celah untuk kolusi jauh lebih diminati karena hasilnya lebih pasti. Namun, negara harus menderita kerugian luar biasa karena penghuninya hanya birokrasi yang doyan korupsi dan rakyat yang tidak lagi menghargai arti sebuah prestasi dan kompetisi. Ujungnya, Indonesia sangat pas untuk ditahbiskan sebagai negara yang gagal.

Kita semua tentu tidak ingin menjadi rakyat dari sebuah negara yang gagal. Kalau begitu, mari kita perangi korupsi. Korupsi adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime), karena karakter korupsi yang sangat kriminogin (dapat menjadi sumber kejahatan lain) dan viktimogin (secara potensial dapat merugikan pelbagai dimensi kepentingan).  Perlu “keluarbiasaan” dalam memerangi korupsi. Pemerintah sudah memperlihatkan komitmen awal yang cukup bagus dan perlu didukung lewat pengusutan kasus-kasus korupsi yang melibatkan para pejabat negara. Namun yang belum terjamah adalah pemberantasan terhadap budaya korupsi. Kasus Bank Century, Gayus, dan kasus korupsi lainnya sebenarnya merupakan perilaku korupsi sehari-hari yang dilakukan oleh birokrat dan pebisnis. Sudah biasa!

Tidak ada satu pun negara di dunia ini yang bebas dari perilaku korup. Yang membedakan Indonesia dari negara lain adalah tingkatannya sudah sangat masif. Sudah membudaya. Negara-negara yang keluar sebagai negara sukses adalah mereka yang berhasil menekan budaya korupsi. Indonesia masih tetap bertahan sebagai negara gagal, karena korupsi sudah sangat membudaya.

Tulisan ini ingin saya tutup dengan sebuah anekdot tentang Indonesia. Ketika Tuhan menciptakan dunia, para Malaikat protes karena didapatinya benua Eropa hanya berupa hamparan es, ini tidak adil, kata para Malaikat. Tuhan menjawab, kalian benar tapi lihat nanti kualitas penduduknya. Malaikat pun diam. Ketika menyaksikan kawasan Timur Tengah yang hanya berisi hamparan pasir nan gersang kembali Malaikat protes, ini juga tidak adil. Tuhan menjawab, tenang para Malaikat, lihatlah nanti apa yang terkandung di dalam perut bumi Timur Tengah. Lautan minyak! Selanjutnya para Malaikat menyaksikan ketidakadilan yang luar biasa setelah menyaksikan bumi Indonesia yang sangat subur, hampir semua yang dibutuhkan manusia tersedia. Tanpa harus bekerja pun penduduknya bisa hidup. Ini tidak adil Tuhan kata Malaikat. Kalian benar kata Tuhan, tapi lihat nanti bagaimana tingkah laku para pemimpinnya. Ini hanya anekdot. Tapi sungguh keterlaluan kalau kita tidak mampu untuk menertawakan diri sendiri sekalipun. *****



*) Ketua Bidang Jamiyyah PP.Persis dan Dosen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Sumber : persis.or.id

0 komentar: