Kontroversi kiblat Shalat

Kamis, 15 Juli 2010

Berawal dari isu pergeseran lempengan bumi akibat gempa, persoalan qiblat yang konon katanya mesti diubah pun muncul ke permukaan. MUI kemudian meresponnya dengan mengeluarkan fatwa. Akan tetapi sungguh tidak terduga, fatwa MUI ternyata menimbulkan kontroversi baru karena menyatakan bahwa qiblat yang penting menghadap ke arah barat, tidak perlu miring sekian derajat seperti yang selama ini dipahami umat. Bagaimana semestinya kita menyikapi fatwa MUI?

Fatwa MUI No. 03 Tahun 2010, yang diumumkan ke publik pada tanggal 22 Maret 2010 itu, kontan saja membungkam beberapa pihak yang dinilai terlalu mempersoalkan qiblat terkait gempa bumi. Tapi ternyata dampaknya tidak hanya kena kepada mereka, melainkan kepada segenap umat Islam yang dari sejak awal juga tidak mempersoalkan qiblat terkait gempa bumi. Hal itu disebabkan fatwa MUI dengan tegas menyatakan bahwa qiblat itu arah barat, tidak perlu miring ke kanan sekian derajat agar tertuju pas ke arah Ka’bah seperti yang selama ini dipahami umat. Lebih lengkapnya, diktum fatwa MUI itu berbunyi sebagai berikut:

Pertama, tentang ketentuan hukum. Dalam kententuan hukum tersebut disebutkan bahwa: (1) Qiblat bagi orang shalat dan dapat melihat Ka’bah adalah menghadap ke bangunan Ka’bah (ainul ka’bah). (2) Qiblat bagi orang yang shalat dan tidak dapat melihat Ka’bah adalah arah Ka’bah (jihat al-Ka’bah). (3) Letak georafis Indonesia yang berada di bagian timur Ka’bah/Mekkah, maka qiblat umat Islam Indonesia adalah menghadap ke arah barat.

Kedua, rekomendasi. MUI merekomendasikan agar bangunan masjid/mushalla di Indonesia sepanjang qiblatnya menghadap ke arah barat, tidak perlu diubah, dibongkar, dan sebagainya (www.mui.co.id).

Terkait pergeseran lempengan bumi, dari sejak awal isu itu muncul sudah banyak pakar iptek yang membantahnya. Walaupun gempa-gempa besar, terhitung dari Aceh, Yogyakarta, sampai Padang, bertubi-tubi datang di bumi Indonesia, tapi itu tidak berarti arah qiblat secara otomatis berubah drastis.

Dr. Moedji Raharto misalnya, pakar astrnomi kenamaan dari ITB (Institut Teknologi Bandung) ini menyatakan kepada RISALAH ketika ditemui di kampusnya: “Sekalipun tiap tahunnya misalkan ada pergeseran pada lempengan sekitar 20 cm atau terjadi gempa seperti di Aceh, itu tidak berpengaruh pada posisi. Karena pada dasarnya kita berada pada satu posisi garis lurus, yang kalau dilihat hanya sebatas satu titik saja.

Misalnya masjid yang ukurannya 100 m atau 500 m sekalipun, itu tetap saja berada pada satu posisi. Gambaran sederhananya bintang yang lebih besar dari bumi tetap saja hanya merupakan titik-titik kecil saja, sekalipun jumlahnya banyak dan bentuknya lebih besar dari bumi.”

Ahmad Izzan, Ketua Umum Asosiasi Dosen Falak Indonesia, menyatakan bahwa pergeseran lempengan bumi itu adalah sesuatu yang terjadi sepanjang masa dan sudah terjadi dari sejak bermiliar-miliar tahun sebelumnya. Akan tetapi karena pergeserannya di setiap tahun hanya sekitar 1 mm, maka pergeseran itu hanya akan dirasakan setelah ratusan tahun atau ketika gempa bumi.

Walau begitu mengingat lempengan Arab di mana Ka’bah berada merupakan satu-satunya lempengan yang tidak mengalami pergeseran—dan ini merupakan salah satu mu’jizat kenapa Ka’bah dijadikan qiblat—, maka posisi Ka’bah menjadi tetap. Oleh karena itu, menurut Ahmad Izzan, tidak rasional jika dianggap ada pergeseran arah qiblat disebabkan pergeseran bumi dan gempa.

Landasan Syar’i Fatwa MUI
Meskipun begitu, fatwa MUI akhir Maret silam seakan-akan menjadi bola salju pemicu kontroversi di tengah-tengah umat. Masuk bulan Mei-Juni kontroversi itu semakin mengemuka dan itu terlihat dari perdebatan di media-media nasional, baik elektronik maupun cetak.

Sebuah koran nasional sampai berturut-turut menurunkan perdebatan persoalan qiblat ini di setiap minggunya, melibatkan pihak MUI dan ahli astronomi. Sebuah perdebatan, yang dalam kacamata Moedji semestinya tidak perlu diekspose besar-besaran, karena walau bagaimanapun MUI itu adalah ulama, dan kalaupun ada kekeliruan sudah semestinya disikapi dengan bijak.

Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA., seorang pakar hadits di Indonesia yang saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI, juga Rois Syuriah PBNU Bidang Fatwa, menjelaskan landasan syar’i fatwa MUI tersebut dalam salah satu tulisannya di sebuah media nasional.

Mengawali uraian argumentasinya, Ali Mustafa Yaqub mengingatkan bahwa sains walau bagaimanapun tidak dapat menjadi dalil syari’at Islam. Sains, seperti geografi, astronomi, dan geometri, menurut Mustafa Yaqub memang memiliki peran strategis dalam syari’at Islam, karena ilmu-ilmu itu dapat membantu memahami maksud teks-teks agama (nushush as-syari’ah) dan memudahkan pengamalan syari’at Islam.

Tapi tetap saja dalam kaitannya dengan pelaksanaan syari’at Islam Allah swt tidak membenarkan adanya otoritas selain Allah swt sendiri. Allah swt berfirman: “Apakah orang musyrik itu punya sekutu-sekutu yang membuat syariat untuk mereka, sesuatu yang tidak diizinkan oleh Allah?” (QS. as-Syura [42] : 21). Nabi saw juga menegaskan: “Siapa yang membuat aturan dalam agama ini yang tidak ada kaitannya dengan agama kami, maka hal itu tertolak.” (HR. Muslim).

Berkaitan dengan fatwa MUI yang menyatakan bahwa qiblat umat Islam Indonesia adalah arah Ka`bah (jihah al-Ka`bah) yaitu arah barat, bukan bangunan Ka`bah (`ain al-Ka`bah), Mustafa Yaqub menjelaskan, itu adalah berdasarkan qiyas (analogi)kepada penduduk yang tinggal di sebelah utara Ka`bah, yaitu warga Madinah dan sekitarnya. Qiyas adalah dalil syar`i. Dalam hadits shahih riwayat Imam at-Tirmidzi, Nabi SAW bersabda, “Arah mana saja antara timur dan barat adalah qiblat.”

Bagi warga Madinah dan sekitarnya yang berada di utara Ka`bah, Mustafa Yaqub menjelaskan lebih lanjut, arah antara timur dan barat itu adalah selatan. Maka, arah selatan mana saja, lurus atau miring, adalah qiblat bagi orang-orang yang tinggal di utara Ka`bah. Dengan mengqiyaskan kepada warga Madinah dan sekitarnya, karena adanya illat sama-sama tidak melihat Ka`bah, maka orang Indonesia yang berada pada posisi timur Ka`bah, kendati agak ke selatan, qiblatnya adalah menghadap ke barat, mana saja, barat yang lurus maupun barat yang miring.

Bahkan menurut Mustafa Yaqub, pada abad ketujuh Hijriah, setelah Islam berkembang lebih luas, Imam Ibnu Qudamah (w 620 H) justru menyatakan, “Semua arah antara timur dan barat adalah qiblat”. Dan ini tentu dalam konteks untuk orang-orang yang tinggal di sebelah utara Ka`bah, baik utara sebelah barat, maupun utara sebelah timur.

Selanjutnya, Mustafa Yaqub mengingatkan, apabila ditetapkan bahwa kaum muslimin Indonesia dalam shalat mereka wajib menghadap ke barat dengan kemiringan 21 derajat, dan bila tidak demikian shalatnya tidak sah, maka hal itu akan membawa kepada beberapa konsekuensi sebagai berikut:

Pertama, kewajiban itu tidak berdasarkan dalil syar`i (al-Qur`an, hadits, ijma’, dan qiyas), melainkan hanya berdasarkan teori astronomi belaka. Teori astronomi bukanlah dalil syar’i. Beribadah dengan menggunakan dalil non-syar’i, sangat berbahaya bagi yang bersangkutan karena telah memasuki wilayah rawan yang dapat merusak aqidah.

Kedua, dengan mengacu pada ukuran derajat miring ke utara dan sebagainya, berarti kita telah mewajibkan shalat dengan menghadap ke bangunan Ka`bah, padahal kita tidak melihat Ka`bah. Konsekuensinya, apabila kita sedikit bergeser, maka kita tidak menghadap bangunan Ka`bah lagi. Ini artinya shalat kita tidak sah. Kabarnya, satu derajat bergeser di Indonesia, akan bergeser menjadi 111 (seratus sebelas) kilometer di Makkah.

Bagaimana pula dengan shaf shalat yang lurus dan panjang sampai 100 meter, sementara lebar Ka`bah hanya sembilan meter lebih sedikit. Tentu shaf yang 91 meter tidak menghadap bangunan Ka`bah. Artinya, tidak sah shalatnya. Padahal, Imam Syafi`i (w 204 H), Imam Ibnu al-Arabi (w 543 H), Imam Ibnu Rusyd (w 595 H), dan Imam Ibnu Qudamah (w 620 H), menyatakan bahwa shalat dengan posisi shaf seperti itu adalah sah, dan itu merupakan kesepakatan ulama (ijma), tidak ada satu pun yang menyatakan bahwa shaf seperti itu tidak sah.

Ketiga, shaf yang panjang harus dalam posisi melengkung agar semuanya dapat menghadap ke bangunan Ka`bah (`ain al-Ka`bah), atau shaf hanya boleh selebar sembilan meter, selebar Ka`bah, tetapi memanjang ke belakang seperti kereta api. Mana ada shaf seperti ini di dunia? Apabila shaf model ini diterapkan di Masjid Istiqlal Jakarta yang memuat 200.000 orang, maka shaf itu akan memanjang ke belakang, sampai 11 (sebelas) kilometer, kira-kira sampai Pulo Gadung.

Respon terhadap Fatwa MUI
Menurut Ahmad Izzan, fatwa MUI di atas menafikan fakta sejarah bahwa para ulama dari sejak dulu telah berikhtiar untuk bisa menghadap Masjidil-Haram secara akurat dengan mengembangkan berbagai metode dan alat. Sebut misalnya perkembangan alat-alat yang digunakan untuk mengukur qiblat seperti miqyas, tongkat istiwa` (sundial), rubu’ rubu’ mujayyab, kompas, sampai pada alat theodolit dan GPS (Global Positioning System). Selain itu, sistem perhitungan yang digunakan mengalami perkembangan pula, baik mengenai data koordinat maupun mengenai sistem ilmu ukurnya.

Bahkan, abad ke-16 M, Ibnu Haytam dan Abu Rayhan Al-Biruni sudah menemukan rumus cotangen dan trigonometry, yang kemudian berkembang menjadi trigonometri bola (spherical trigonometry), untuk menentukan arah kiblat. Mereka menggunakan istilah Simt al-Qiblah atau Zaawiyatul Qiblah. Demikian pula kitab fikih klasik, seperti Sullam Munajat telah menggambarkan sudut kiblat Indonesia yang tidak hanya menghadap ke arah barat. Jadi, tentu dinilai terlalu menyederhanakan masalah jika MUI hanya menyebut arah barat, padahal faktanya ilmu pengetahuan sudah membuktikan itu bukan qiblat yang sebenarnya.

Dalam pengamatan Moedji Raharto, fatwa MUI di atas dinilai terlalu terburu-buru, karena terbukti banyak asumsi yang lemah dalam kacamata ilmu pengetahuan. Misalnya pernyataan shaf yang harus melengkung ataupun harus memanjang seperti kereta api, menurut Moedji itu jelas konsepsi yang salah. Tidak perlu melengkung, sebab posisi kita di permukaan bola, jadi tidak mempengaruhi geometri bola. Karena pada dasarnya kita berada pada satu posisi garis lurus, yang kalau dilihat hanya sebatas satu titik saja. Misalnya masjid yang ukurannya 100 m atau 500 m sekalipun, itu tetap saja berada pada satu posisi. Gambaran sederhananya bintang yang lebih besar dari bumi tetap saja hanya merupakan titik-titik kecil saja, sekalipun jumlahnya banyak dan bentuknya lebih besar dari bumi. Jadi pada intinya, Moedji menegaskan, hanya satu titik saja, baik di Indonesia atau Negara yang jauh dengan Makkah. Mau 100 meter atau lebih tidak akan berpengaruh, jadi tidak harus seperti kereta api yang memanjang ke belakang.

Ini pun tentunya bisa membantah penilaian bahwa qiblat arah barat miring ke kanan sekian derajat—tepatnya 25º, demikian Moedji menegaskan bedasarkan perhitungan astronomi terakurat—itu untuk Ka’bah saja. Yang benar itu untuk Ka’bah, Masjidil-Haram dan al-Haram/Makkah yang pada hakikatnya berada pada satu titik saja.

Moedji menjelaskan lebih lanjut, dalam sains itu ada ilmu ukur bola, atau lebih dikenal dengan sebutan segitiga bola. Ilmu ini dipergunakan untuk menentukan rute penerbangan jarak pendek, pelayaran, misi peluru kendali, dll. Apalagi untuk menentukan posisi satelit penghitungannya sangat kompleks. Perkembangan keteraturan matahari, bumi beredar mengelilingi matahari, arah timur dan barat, juga yang lainnya. Karena ilmu ini berkembang, maka perkembangan berikutnya ilmu ini dipakai juga untuk menetapkan arah qiblat. Supaya peribadatan kita lebih tertib dan teratur. Tetapi, Moedji menekankan, bukan berarti ilmu ini posisinya di atas fiqh, keberadaan ilmu ini untuk melengkapi supaya terjadi sinergitas antara fiqh dan sains. Tidak mungkin sains mengadili al-Qur`an dan hadits.

Ma bainal-mayriq wal-maghrib qiblat

Dalam khazanah fiqh memang terdapat hadits populer terkait Ka’bah ini, yaitu:

مَا بَيْنَ اَلْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ قِبْلَةٌ

Apa yang ada di antara timur dan barat itu adalah qiblat. (Sunan at-Tirmidzi abwab as-shalat bab ma bainal-mayriq wal-maghrib qiblat no. 342, 344; Sunan Ibn Majah kitab iqamatis-shalat was-sunnah fiha bab al-qiblat no. 1011)

Hadits ini sebagaimana dijelaskan oleh para ulama ditujukan Rasul saw untuk penduduk Madinah atau yang searah dengannya seperti Syam (Suriah, Palestina, Yordania, dan sekitarnya). Untuk lebih mudah menentukan qiblat, maka penduduk Madinah tinggal menghadap ke selatan saja. Sebagaimana dijelaskan Ibn ‘Umar, asalkan barat ada di sebelah kanan dan timur di sebelah kiri, maka yang ada di depan itulah qiblat. Imam Ahmad ibn Hanbal menyarankan agar seseorang memilih posisi tengah (wasth), tidak miring ke kanan ataupun ke kiri. Sementara Ibn al-Mubarak menegaskan, untuk penduduk Marwa (sebuah daerah di Persia, berarti termasuk juga di dalamnya daerah-daerah di Iraq dan Iran seperti Baghdad, Kufah, dan Khurasan) sebaiknya miring ke arah kiri/tayasur (Tuhfah al-Ahwadzi dalam kitab dan bab yang sama dengan Sunan at-Tirmidzi)

Dari hadits inilah lahir rumusan seperti yang dikemukakan fatwa MUI, yakni yang membedakan antara ‘ainul-Ka’bah dan jihatul-Ka’bah. Untuk penduduk yang melihat Ka’bah maka qiblat tepat ke bangunan Ka’bah (‘ainul-Ka’bah), sementara untuk penduduk yang tidak melihat Ka’bah, qiblat hanya ke arah Ka’bah (jihatul-Ka’bah). Kalau untuk penduduk Madinah pada pokoknya menghadap selatan, maka untuk penduduk Indonesia pada pokoknya menghadap barat, tidak perlu miring ke kanan.

Wahbah az-Zuhaili dalam kitabnya, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh 1 : 598, menyatakan bahwa pendapat di atas adalah pendapat yang paling kuat untuk penduduk yang tidak melihat Ka’bah. Alasannya, seperti yang dikemukakan MUI di atas—atau mungkin MUI yang mengutip dari Wahbah az-Zuhaili—kalau harus tepat ke bangunan Ka’bah maka shaf harus melengkung atau memanjang seperti kereta api. Walaupun begitu, Wahbah tidak menafikan bahwa pendapat ini tidak digunakan oleh Syafi’iyyah, karena Imam as-Syafi’i dalam kitabnya al-Umm, menegaskan bahwa untuk yang bukan penduduk Makkah tetap harus menghadap tepat ke bangunan Ka’bah sesuai firman Allah swt: Di mana saja kalian berada maka menghadaplah ke arahnya (Masjidil-Haram). (QS. Al-Baqarah [2] : 144).

Menyikapi Fatwa MUI

Jadi sampai di sini, kita semua harus bersikap terbuka karena pada faktanya terkait qiblat ini ada dua pendapat/madzhab besar terkait penduduk yang tidak ada di Makkah. Untuk kasus Indonesia, pendapat yang tidak harus menghadap ‘ainul-Ka’bah dipegang oleh MUI, dan pendapat yang tetap harus menghadap ‘ainul-Ka’bah dipegang di antaranya oleh Dewan Hisbah Persatuan Islam (Persis).

Kedua pendapat ini tentu merupakan ijtihad yang masing-masingnya tidak bisa saling membatalkan (al-ijtihad la yanqudlu bil-ijtihad). Jadi bukan urusan sesat-tidak sesat, bukan urusan mana yang muslim mana yang kafir, hanya sebatas persoalan mana yang paling tepat dan yang kurang tepat, itu saja.

Sampai fatwa ini diproses lebih lanjut pun saling memvonis sesat orang yang mengikuti salah satu fatwa di atas tidak bisa dibenarkan. Ibaratnya orang-orang yang shalat menghadap ke arah yang berbeda-beda karena kebingungan menentukan arah mata angin di sebuah pegunungan yang gelap. Maka tentu yang shalat ke arah A tidak bisa menyalahkan orang yang shalat menghadap ke arah B. Demikian juga yang shalat menghadap arah C dan D, karena al-ijtihad la yanqudlu bil-ijtihad; satu ijtihad tidak bisa membatalkan ijtihad yang lain.

Hanya tentu konstribusi dari para ilmuwan, astronom, geolog, dsb, layak dijadikan pertimbangan. Apakah dikotomi ‘ainul-Ka’bah dan jihatul-Ka’bah masih layak dipertahankan jika pada faktanya semua penduduk bumi saat ini bisa “melihat” (mengetahui dengan tepat) posisi bangunan Ka’bah?

Demikian juga, apakah dikotomi tersebut masih layak dipertahankan ketika pada faktanya baik itu ‘ainul-Ka’bah atau jihatul-Ka’bah berada pada satu titik koordinat yang sama? Bukankah juga Ibn al-Mubarak—seorang ulama ahli hadits—telah dari awal menyatakan sebaiknya ada perbedaan arah untuk penduduk yang posisinya jelas-jelas berbeda dengan Madinah? Dengan mempertimbangkan ini, maka rupanya pendapat yang dipegang oleh Imam as-Syafi’i, Dewan Hisbah Persis, ataupun umat Islam lainnya adalah pendapat yang paling tepat.

Fiqh-Sains, Hisab-Rukyat: PR Klasik

Kita sebagai umat sangat berharap semoga saja kontroversi qiblat shalat ini mendatangkan hikmah tersendiri bagi kita, yaitu terpecahkannya segenap persoalan kompromi fiqh dan sains selama ini seperti yang terjadi dalam hisab dan rukyat. Jika MUI bersikukuh bahwa qiblat menghadap barat miring ke kanan 25º itu adalah ketetapan sains, dan dengan sendirinya tidak bisa menggugurkan hadits ma bainal-masyriq wal-maghrib qiblat, maka persoalan seperti itu jugalah yang selama ini terjadi dalam kasus beda lebaran dan awal Ramadlan.

Dalam perspektif ilmu astronomi awal bulan itu adalah ketika terjadi wujudul-qamar/wujudul-hilal (ada bulan sabit walau tidak terlihat), tepatnya ketika ijtima’/konjungsi (sesaat setelah bulan mati [new moon] walaupun statusnya masih beberapa derajat di atas ufuk dan tidak mungkin terlihat). Sementara hadits menyatakan bahwa awal bulan itu ketika hilal/bulan sabit ter-ru’yat (terlihat), bukan ketika ijtima’ yang notabene belum ter-ru`yat.

Permasalahan belum komprominya fiqh-sains inilah yang kemudian menyebabkan perbedaan lebaran ataupun awal Ramadlan. Bagi Muhammadiyah yang mengakomodasi sains maka jadinya pasti akan selalu lebih awal daripada MUI dan ormas lainnya yang bersikukuh pada hadits harus ter-ru`yat.

Celakanya lagi, batasan ter-ru`yat itu pun sampai saat ini belum disepakati betul batasannya. Ketika dalam hitungan hisab hilal tidak mungkin ter-ru`yat ada pernah terjadi seseorang mengaku betul-betul melihat hilal tersebut. Jadinya, lebaran dan awal Ramadlan selalu menguras perhatian dan emosi semua umat Islam di setiap momen penentuannya.

Kondisi seperti ini memang hanya terjadi di Indonesia saja. Unik memang, tapi itulah yang terjadi. Di negara-negara lain, majelis ulama negara (semacam MUI-nya) dijadikan rujukan utama dalam penentuan awal bulan ini, sesuai prinsip ta’at kepada ulil-amri.

Ketika majelis ulamanya menyatakan lebaran hari A, maka semua komponen umatnya harus taat, walaupun di antara mereka ada ulama yang berbeda pendapat, seperti yang terjadi di Arab Saudi. Karena dalam prinsip ijtihad, ketika semuanya sama-sama ijtihad dan berbeda, maka keputusan bisa ditentukan oleh ulil-amri yang memilih satu ijtihad.

Tapi rupanya di Indonesia pola seperti ini belum bisa ditiru. Kemungkinan besar disebabkan masing-masing merasa jadi ulil-amri dalam urusan agama ormasnya. Atau masing-masing merasa lahir lebih dulu dibanding negara Indonesianya sendiri; Persis, NU, Muhammadiyah, dsb merasa lebih dulu lahir dibanding negara Indonesia, termasuk dari MUI yang baru difungsikan tahun 1960-an. Akibatnya tidak heran, jika ormas belakangan seperti HTI, DDII, tidak ragu untuk selalu mengikuti Makkah dalam penentuan lebaran, khususnya lebaran haji. Ini semua bermuara pada belum ditemukannya kompromi yang pas antara fiqh dan sains.

Rusydul-Qiblat

Ustadz Usman Shalehuddin, Ketua Dewan Hisbah Persatuan Islam, menghimbau segenap umat Islam sekalian untuk memanfaatkan moment matahari di atas Ka’bah pada tanggal 28 Mei jam 16:18 dan 16 Juli jam 16:27 untuk rusydul-qiblat (petunjuk qiblat). Caranya, gunakan tongkat atau yang semacamnya, lalu tancapkan tongkat tersebut di atas tanah pada jam 16:27 untuk tanggal 16 Juli. Perhatikan dengan seksama arah bayangan tongkat tersebut, maka tongkat itulah arah qiblat, dan bayangan yang memanjang, itulah arah menghadap kita yang semestinya ketika shalat.

Cara yang termutakhir dengan semakin memasyarakatnya internet, sebagaimana disampaikan oleh Ustadz M. Iqbal Santoso, yaitu dengan menggunakan bantuan situs www.qiblalocator.com. Di sana digambarkan peta, jarak, foto dan lain sebagainya yang berkaitan dengan arah qiblat. Gunakan sesuai petunjuk di situs tersebut, dan keakuratan situs tersebut insya Allah terjamin, karena Ustadz Iqbal sendiri sudah menggunakannya untuk masjid-masjid di Pesantrennya. Wal-’Llah a’lam bis-shawab.

Nashruddin Syarief

pemikiranislam.net

0 komentar: